Rabu, 06 Oktober 2010

batas¶digma


“ini sudah pada batasnya!”

Hampir semua orang berkata seperti itu saat mereka mulai jenuh dengan apa yang sedang mereka hadapi. Entah karena memang mereka telah mencapai batas atau hanya sebuah refleksi dari keputusasaan semata.

Seperti halnya permasalahan-permasalahan yang sering timbul dari lingkungan sekitar, teman, kerabat, bahkan kekasih. Menjadi sesuatu yang menjemukan saat permasalahan itu terus berlanjut dan berlarut-larut. Adanya perbedaan pendapat, merasa tidak dihargai, dan salah satunya yang paling rumit adalah adanya perbedaan pola pikir.

Seperti kita ketahui bahwa salah satu unsur penghidup manusia adalah paradigma yang merupakan acuan berpikir terhadap segala sesuatu. Manusia bebas bereksrpresi dan berkembang menurut pola pikirnya. Namun yang sering kita rasakan justru pola pikir tersebut menjadi pemicu perkara yang sulit dimengerti dan hampir terkadang membuat kita berkata ”semua ini sudah pada batasnya!” tanpa kita benar-benar tau apakah kita sudah mencapai batas dan tidak bisa berjalan lebih jauh lagi.

Saat seseorang ditantang untuk menempuh jarak 30 yard dengan cara merangkak ditambah beban seberat 75% dari bobot tubuhnya diatas punggungnya, mungkin hal pertama yang akan muncul dibenak semua orang adalah bahwa orang itu tidak akan mampu melewati tantangan itu. Namun saat orang itu merasa mampu dengan pemikirannya yang optimis dan mencoba berusaha sebaik mungkin, yang terjadi adalah orang tersebut mampu melewati tantangan itu dengan baik, bahkan dia menutup matanya saat melewati tantangan itu. Alasannya adalah agar pikirannya terfokus dan tidak melihat batas yang sudah ia lewati, karena yang ada dipikirannya adalah hanya mengusahakan yang terbaik tanpa ia harus tau berapa yard yang sudah ditempuh dan berapa yard lagi yang harus ia tempuh.

Dari fenomena tersebut, menyadarkan kita betapa besar pengaruh pola pikir seseorang terhadap tindakan yang akan diambil. Manusia terkadang merasa dia sedang berada di titik batas, padahal sebenarnya dia akan mencapai tujuannya dalam satu atau dua langkah lagi. Jadi, jangan sampai pola pikir kita justru membatasi kita dalam melakukan tindakan atau mengambil keputusan, dan selama diperlukan perubahan maka lakukanlah perubahan untuk menjadi lebih baik.

Kamis, 15 April 2010

cinta sejati dan cinta buta

Saat kamu merasakan cinta sejati, kamu menyayangi seseorang apa adanya, memahami kekurangannya dan menutupi kelemahannya sambil melihat sisi terbaiknya.

Saat kamu cinta buta dengan seseorang,
kamu menganggapnya dia begitu
sempurna
hingga
menutupi seluruh kekurangan yang ada pada dirinya.

Hmmmmm…

Kalau dipikir-pikir lagi,
sebenarnya perbedaan antara
Cinta Buta dan Cinta Sejati
itu tipiiiiiissss banget ya?

Saat kamu mencintai seseorang begitu dalamnya,
kemungkinan besar kamu akan mencoba memahami kekurangannya.
Di saat itu.. apakah kamu mencintainya secara buta
atau memang hanya mencintai dia apa adanya?

Saat dia melakukan kesalahan dan kamu memaafkannya,
karena namanya manusia memang tak pernah lepas dari kesalahan,
apakah itu berarti mencintainya secara buta
atau mencintai apa adanya?

Saat hadir seseorang yang lebih baik darinya,
namun
tak juga kamu berpaling dari sang kekasih
apakah itu berarti mencintai apa adanya
atau mencintai secara buta?

Atau saat kamu menganggapnya begitu sempurna
sehingga
tak ada yang mampu menggantikan kehadirannya,
apakah itu berarti mencintai apa adanya
atau mencintai secara buta?

Sampai sejauh mana kita bisa mencintai apa adanya
tanpa harus membutakan mata?

Apakah mungkin seseorang mencintai apa adanya tanpa menjadi buta?
Ataukah mencintai secara buta berarti juga mencintai apa adanya?

Senin, 12 April 2010

battle

Apa yang terjadi dengan adanya ketidaksesuaian antara harapan dan cara yang ada dalam mewujudkannya? Hakikatanya, jika kita menginginkan sesuatu baiknya kita pun mewujudkan dengan cara yang sesuai dan tidak terlalu mengambil resiko. Apapun resikonya. Namun yang kadang terjadi adalah sesuatu yang bisa dibilang “out of box” dalam mewujudkan sesuatu dan lebih berminat untuk mengambil resiko yang berat.

Mungkin ini ada hubungannya juga dengan ketidakakuran antara logika dan hati manusia yang selalu bertentangan dalam mengambil sebuah keputusan untuk jalan keluar. Sering saya terheran-heran, mengapa keduanya itu tidak bisa disinkronisasikan secara sempurna sedangkan dalam tubuh manusia itu mempunyai sutu sistem pusat yang berfungsi mengatur secara keseluruhan. Lalu mengapa hati dan logika manusia tidak bisa satu kata? Lantas keputusan mana yang harus diprioritaskan, yang berasal dari hati atau yang berasal dari logika?